Hari ini gue ngerasa hidup dalam dongeng
yang kaya mimpi gitu. Kaya hidup tuh gue yang nentuin alur ceritanya. Sumpah
demi apapun gue seneng banget hari ini. Sakit juga engga berasa saking
senengnya;;)
Pagi ini saat aku
membuka mata, kuingin matahari segera menampakkan sinarnya yang hangat. Aku
ingin segera bertemu pangeranku. Pagi ini kuawali dengan senyum ceriaku, bukan
senyum kepalsuan seperti hari-hari biasa. Aku memulai hari ini dengan semangat.
Aku memang sedikit terlambat ke kampus tapi itu tidak masalah. Hampir setiap 15
menit sekali aku menengok jam di handphone
kesayanganku.
“Kenapa sih jam 11 itu
lama banget?” gerutuku.
“Lo kenapa pengen
cepet-cepet balik?” tanya Asti.
“Bukan pengen pulang,
tapi pengen ketemu pangeran,” jawabku sambil senyum-senyum.
Waktu sudah hampir
menunjukkan pukul 10.45, akupun mulai gelisah tidak sabar ingin bertemu sang
mantan yang masih sangat aku sayangi. Aku tau, hari ini aku akan menjadi
perempuan super jahat yang pergi bersama kekasih orang lain demi kebahagiaanku.
Aku tidak pernah menganggap perbuatanku ini salah karena aku memang tidak
ikhlas saat memutuskannya, dulu. Aku memutuskan karena memang tidak ada pilihan
lain. Ah sudahlah, yang lalu tidak usah dibahas lagi.
Akhirnya kelas hari
ini selesai juga, aku langsung segera menghubungi Fiyyan. Saat aku menelfonnya,
ternyata mba-mba operator berkata, “Nomor yang anda tuju sedang sibuk.” Aku
telah berusaha menelfonnya beberapa kali, tapi tetap saja begitu. Akhirnya
kuputuskan untuk mengiriminya pesan singkat. Dan tak lama kemudian nomornya
sudah dapat dihubungi kembali. Kami janjian di Halte KFC Lenteng Agung. Tanpa
berlama-lama aku langsung mencari teman menyebrang untuk menuju TKP.
Sesampainya di KFC,
agak lama aku menunggu dan hadirlah seorang pangeran yang sampai saat ini masih
aku harapkan. He looks more handsome. Agak lama juga kami berpikir ingin pergi
kemana, tak lama kemudian Fiyyan langsung menjalankan si biru miliknya. Aku
bertanya, “Tasnya gede amat, isinya apaan? Masa nginep semalem aja pakaiannya sebanyak itu.” Ia
hanya terdiam. Matahari siang itu begitu menyengat tapi aku sangat rindu
padanya. Kuberanikan diri untuk bertanya, “Gue boleh meluk lo?” Lama sekali ia
terdiam, dan saat keluar dari perkampungan akhirnya ia menjawab, “Sekarang
boleh peluk.” Tanpa malu-malu aku langsung memeluknya, mencium aroma tubuhnya
yang khas.
“Rumah Setya udah
kelewatan belom?” tanya Fiyyan.
“Belom,” jawabku
singkat.
Fiyyan pun melaju ke
arah rumah Setya. Saat sampai, kupikir ia ingin ke rumah Setya tapi ternyata ia
hanya ingin melewatinya. Ia membawa motor kesayangannya itu menuju ke arah
rumahku. Ia menyuruhku untuk menaruh laptop dan mengambil helm. Kami berencana
untuk hujan-hujanan.
Sesampainya di rumah,
ia tidak berhenti persis di depan rumahku. Tapi ia berhenti di satu rumah
sebelum rumahku. Dan ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya itu.
“Wah gede banget tedy bear-nya,” kataku seraya mendekap
boneka yang diberikan oleh Fiyyan.
Tak lama kemudian
pemilik rumah keluar, si anak balita yang sering aku ajak bermain bersama sang
ibu. Mereka hanya terdiam melihatku. Tanpa berlama-lama membuang waktu, Fiyyan
menyuruhku untuk cepat-cepat ke rumah untuk menaruh boneka+laptop dan mengambil
helm.
Setelah itu kami pun
berputar-putar tidak jelas dan pada akhirnya kami menuju ke UI. Disana Yuni,
kekasih Fiyyan, menelfon Fiyyan. Dan bete-ku
mulai keluar. Tadinya aku memeluk Fiyyan tapi mendengar mereka
berbincang-bincang lewat telfon, rasanya aku ingin lompat dari motor saat itu
juga. Aku melepaskan pelukan seraya menutup kaca helmku dan memasang muka bete.
Tapi lama kelamaan aku pun menangis.
Selesai menelfon,
Fiyyan memberhentikan motornya entah dimana. Ia menengok ke arahku dan berusaha
membuka kaca helmku tapi ku tepis tangannya itu. Ia pun melanjutkan perjalanan
sambil menarik tanganku, agar aku memeluknya kembali. Tapi aku selalu
melepaskan pelukkan itu. Ia pun mengajakku untuk makan bakso dan aku mulai
dapat tertawa kecil.
“Eh ketawa,” ledek
Fiyyan.
Dulu selama pacaran,
kami tidak pernah seromantis ini. Setelah putus, baru aku merasakan ke
romantisan itu. Aku serasa berpacaran dengan Fiyyan lagi. Tidak ada acara
suap-suapan sih tapi acara sok so sweetnya ada yaitu saat aku mengelap keringat
Fiyyan dengan tisu. Saat ingin mengelap aku berkata, “Yah so sweet deh nih.”
Dengan cepat Fiyyan menjawab, “Gamau? Yaudah gausah.” Aku pasti maulah, kapan
lagi ada acara so sweet so sweet-an seperti sekarang ini. Fiyyan berkata bahwa
Yuni memberikannya kue ulang tahun waktu itu, ia berharap aku yang memberikan.
Dalam hati aku berkata, “Kalo gue masih jadi pacar lo, gue bela-belain ke
Cikampek cuma buat ngasih kue ulang tahun yang ga seberapa itu.”
Tak lama kemudian
hujan pun turun, Fiyyan mengajakku pulang tapi hujan begitu deras. Aku sempat
dilema, pulang sekarang atau nanti. Tak perlu berpikir lama, akhirnya aku
memutuskan untuk hujan-hujanan ke rumah Setya. Fiyyan memberikan jas hujannya
kepadaku sambil kugendong tasnya dipundakku. Di jalan, Fiyyan baru mengatakan
kepadaku kalau ia tidak kuat dingin. Aku tidak tega melihatnya kedinginan,
kepeluk ia erat-erat. Dingin masih menusuk sampai ke tulang. Aku ingin
memberikan jas hujan kepada Fiyyan, tapi ia tidak mau. Kami tetap menerobos
hujan agar segera sampai dan dapat berganti baju.
Sesampainya di rumah
Setya, ramai oleh teman-teman kampusku yang sedang mengerjakan tugas. Dengan
pedenya aku berbincang-bincang dengan Fiyyan di ruang tamu tanpa membantu
teman-temanku mengerjakan tugas. Fiyyan sempat berkata, “Mau cium pipi.” What’s
mean?
Setelah hujan reda,
Fiyyan mengantarku pulang ke rumah dan bertemu dengan ibuku sebentar. Rasanya
aku tak ingin berpisah dengannya. Aku ingin selalu bersamanya. Sekarang, aku
bisa memeluk boneka darinya dan menganggap itu adalah Fiyyan